Getirnya Krisis Buat Industri

Gempuran krisis mulai dirasakan pahitnya oleh sejumlah industri di dalam negeri, menyusul pelemahan ekonomi domestik yang makin menekan daya beli masyarakat. Gempuran baru kebijakan pemerintah China yang mendevaluasi Yuan diprediksi makin memperburuk imbas yang dirasakan oleh industri.

Penurunan daya beli setidaknya telah terlihat sejak awal tahun ini. Dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS), penurunan tersebut terefleksi dari tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2015 yang berada di angka 4,71%, turun dari periode sama tahun sebelumnya yang masih berada di angka 5,14%. Sejumlah faktor eksternal seperti pelemahan ekonomi di sejumlah negara tujuan ekspor Indonesia, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri ikut berkontribusi pada pelemahan daya beli.

Belakangan di eksternal datang lagi gempuran baru dari dataran Tiongkok. Pemerintah setempat melakukan kebijakan yang amat mengejutkan dengan mendevaluasi mata uangnya. Bank Sentral China (PBoC) mendevaluasi mata uang Yuan (Renmimbi) pada Selasa 11 Agustus 2015 lalu sebesar hampir dua persen terhadap dolar AS. Kebijakan ini dilakukan pemerintah China untuk mendorong reformasi pasar, di tengah perlambatan ekonomi di negaranya.

Kebijakan China ini langsung berimbas pada nilai mata uang Rupiah yang langsung mengalami pelemahan. Tengok saja daya tawar rupiah yang tertekan terhadap dolar pada Rabu (12/8) sebesar 1,42% atau 193 poin ke Rp13.800 per dolar AS. Hari itu berdasarkan data Bloomberg, Rupiah bergerak di kisaran level tertinggi Rp13.685 dan terlemah Rp13.917 per dolar AS. Sementara berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia, nilai tukar rupiah berada pada level Rp13.758 per dolar AS, melemah dari sebelumnya Rp13.541 per dolar.

Sebelum gonjang-ganjing langkah devaluasi Yuan ini terjadi, industri sudah mengalami pukulan telak akibat perlambatan. Sebut saja sektor otomotif yang harus merevisi target penjualannya. Disampaikan Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Sudirman Maman Rusdi, produksi mobil nasional pada semester I sebesar 577.507 unit atau turun 14% jika dibanding periode yang sama tahun lalu. Padahal total kapasitas produksi yang terpasang saat ini 1.928.000 unit.

Awalnya Gaikindo menetapkan target produksi mobil tahun ini sebesar 1.050.000 unit, plus untuk ekspor sebesar 200.000 unit sehingga total kapasitas produksi 1.250.000 unit. Jadi, produksi masih di bawah target kapasitas yang tersedia.

Berdasarkan data yang dilansir Gaikindo, penjualan mobil domestik periode Januari-Juli turun 18% dibanding periode yang sama pada tahun lalu. Penjualan hanya mencapai 525.458 unit, sedangkan jumlah ekspor mobil dari Indonesia stagnan.

Kebijakan baru pemerintah terkait penurunan besaran uang muka (loan to value/LTV) kendaraan ternyata tidak mampu mendorong masyarakat untuk membelanjakan dananya di produk kendaraan roda empat. “Pengaruhnya belum terasa karena faktornya daya beli,” ujarnya awal Agustus lalu (8/8).

Salah satu kontributor produksi dan penjualan kendaraan roda empat terbesar, yakni PT Astra Internasional Tbk, harus merasakan penurunan laba. Pasalnya selama ini sektor otomotif memberikan kontribusi penjualan sebesar 15% buat perusahaan.

Prijono Sugiarto, Presiden Direktur Astra Internasional mengemukakan, laba dari perusahaan-perusahaan otomotif Astra selama periode Januari-Juni tahun ini hanya menyumbang sebesar Rp 3,42 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun lalu masih mampu menyumbang laba sebesar Rp 4 triliun.

Dalam keterangan tertulisnya akhir Juli lalu Prijono mengungkapkan penurunan laba di segmen otomotif ini disebabkan oleh melemahnya permintaan, akibat perlambatan ekonomi. Selain itu, kata Prijono, persaingan diskon pada pasar mobil akibat kelebihan kapasitas produksi berdampak negatif terhadap laba bersih segmen usaha ini.

Berdasarkan pengamatannya, penjualan mobil secara nasional pada periode Januari – Juni turun sebesar 18% menjadi 525 ribu unit. Sementara penjualan Astra turun 21% persen menjadi 263 ribu unit. Pada ujungnya pangsa pasar Astra pun turun dari 52% pada semester I tahun lalu menjadi 50% per Juni 2015. Sementara di sepeda motor, penjualan produk Astra turun 24% dengan penjualan yang sebesar 3,2 juta unit.

Tak hanya di otomotif, sektor properti pun sudah mulai merasakan penurunan penjualan. Perlambatan ekonomi dan penurunan daya tawar rupiah membuat para investor dan pemilik dana memilih menunggu untuk membelanjakan dananya, termasuk investasinya di sektor properti. Segmen menengah atas yang selama ini dinilai sedikit kebal terhadap pelemahan pun ikut menahan diri untuk tidak belanja properti. Pada Semester pertama tahun ini dilaporkan telah terjadi penurunan penjualan properti untuk segmen menengah atas sebesar 40% hingga 50%.

Disampaikan Ketua DPP Persatuan Perusahaan Pengembang Realestate Indonesia (REI) Eddy Hussy, perlambatan ekonomi memang berpengaruh pada menurunnya daya beli masyarakat, khususnya di rumah komersial. “Penjualan untuk segmen menengah ke atas selama kuartal I/2015 dan kuartal II/2015 menurun 40% sampai dengan 50%,” ujarnya.

Di sektor komoditas, khususnya batu bara jauh lebih mengenaskan. Pukulan pada industri ini memang sudah dirasakan sejak tiga tahun terakhir. Namun kali ini dampak pelemahan ekonomi baik global maupun di domestik telah begitu keras bagi industri tambang batu bara.

Seperti dilaporkan Tribun, sekitar 125 perusahaan pertambangan batu bara di Kalimantan Timur kini harus berhenti beroperasi. Akibatnya, 5.000 orang harus mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). “Sekitar 125 perusahaan tambang tutup di Kaltim. Pokoknya tutup. Lebih banyak (yang) beroperasi di Kutai Timur,” kata Ketua Asosiai Pengusaha Indonesia (Apindo) Kaltim M Slamet Brotosiwoyo baru-baru ini.

Slamet mengungapkan kekhawatirannya jika belum ada pemulihan ekonomi, di akhir tahun perusahaan yang tutup bisa bertambah, Bahkan bisa menjadi 200 perusahaan.

Sedikit harapan bahwa krisis ini akan sedikit teringankan pada Semester II tahun ini dengan proyeksi realisasi serapan anggaran belanja pemerintah di sektor-sektor infrastruktur. Banyak pihak berharap di tengah perlambatan ekonomi serta pelemahan rupiah, belanja pemerintah bisa menjadi stimulus yang menggerakkan roda perekonomian, dan perputaran uang di masyarakat. Banyak yang memprihatinkan realisasi penyerapan anggaran pemerintah di kementerian baru sebatas 20%.

Akan dilihat lagi kalau belanja pemerintah di semester II ini meningkat, baru mungkin akan ada perbaikan,” kata Sudirman MR, Ketua umum Gaikindo.

Dipublikasikan di Majalah Investor edisi 266, Agustus 2015