Langkah Seret Perbankan Syariah

Populasi dengan mayoritas warga muslim, Indonesia memang menawarkan harapan bagi bertumbuhnya sektor keuangan syariah. Namun faktanya pertumbuhan sektor finansial syariah khususnya perbankan syariah masih belum memuaskan umat.

Salah satu yang ikut menekan pertumbuhan industri perbankan syariah adalah perlambatan ekonomi yang dipicu oleh sejumlah faktor internal dan eksternal. Hal ini diutarakan langsung oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro ketika menerima Investor di ruang kerjanya di Kantor Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Jakarta baru baru ini.

Menurutnya industri keuangan syariah sempat mengalami pertumbuhan yang cukup baik pada tahun 2012 lalu. Saat itu sejumlah bank dan unit usaha sariah gencar melakukan ekspansi lewat kucuran kreditnya. Namun begitu memasuki tahun lalu ketika ekonomi mengalami perlambatan, perbankan syariah pun ikut terpukul.

Kira-kira perbankan syariah sama iramanya dengan perbankan konvensional. Jadi kita tidak bisa menyalahkan syariahnya tidak bisa berkembang karena halangan lain. Tapi lebih karena kondisi ekonomi yang tidak menunjang,” ujarnya seraya menambahkan bahwa ada beberapa bank syariah yang bergerak terlalu ekspansif serta agresif, sehingga sedikit melupakan prinsip kehati-hatian.

Sehingga mereka harus ‘ngerem’ sedikit saat ini. Ketika ‘ngerem’ karena jumlah perbankan syariah masih kecil maka kalau satu atau dua bank mengalami perlambatan otomatis sektor keseluruhan akan terlihat agak melambat,” imbuhnya.

Kinerja perbankan syariah memang agak melambat dan mengalami penurunan setelah memasuki tahun lalu. Jika merunut pada data yang dilansir oleh Bank Indonesia, rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) meningkat dari posisi tahun 2013 yang sebesar 78,21% menjadi 94,16% pada tahun lalu. Sementara per April 2015, BOPO perbankan syariah tercatat sebesar 93,79%.

Dari sisi aset memang masih mengalami pertumbuhan, seperti pada tahun lalu yang sebesar Rp 272,34 triliun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 242,27 triliun. Sementara per April 2015 aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp 269,46 triliun.

Namun demikian rasio pendapatan berbanding aset (ROE) mengalami penurunan dibanding tahun 2013 yang sebesar 2% menjadi 0,79% pada tahun 2014 lalu. Pada tahun 2012, ROE perbankan syariah juga lebih baik di angka 2,14%. Pembiayaan bermasalah (non performing funding/NPF) pun ikut memburuk memasuki masa krisis tahun lalu. Tengok saja NPF pada tahun 2012 yang masih terjaga di kisaran 2,22%, sedikit naik menjadi 2,62% pada tahun 2013. Namun begitu memasuki tahun 2014 tingkat NPF melonjak di angka 4,33%. Bahkan per April 2015 tingkat NPF sudah berada di level 4,62%, hampir menembus batas tertinggi 5%.

Menanggapi tingginya NPF pada bank syariah, Komisioner OJK Bidang Perbankan, Nelson Tampubolon saat ditemui Mashud Toarik dari Investor usai acara Perayaan 38 Tahun diaktifkannya Pasar Modal Indonesia di Gedung Bursa Efek Indonesia (10/8) mengatakan, wajar jika terjadi kenaikan NPF karena ini merupakan imbas dari sektor riil yang juga tengah melemah. Pertumbuhannya (NPF, red) kan cuma 4,67% yang kuartal kedua. Itu saya pikir pasti terpengaruh sektor riilnya. Tetapi kan Pak Presiden tadi sudah bilang semester kedua akan beda ceritanya, termasuk bank syariah. Karena kalau ekonomi melemah semua jenis bank itu pasti akan terpengaruh,” ujarnya. Namun ia memastikan bahwa situasi saat ini masih baik bagi industri keuangan syariah, termasuk perbankan. “Yang jelas industri kita masih aman lah,” tandasnya.

Sementara Menkeu Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa tingginya NPF merupakan imbas ekspansi yang dilakukan terlalu cepat, sehingga wajar saat ini sejumlah bank syariah tengah menahan diri dalam pembiayaan. Namun saat mereka lebih berhati-hati seperti saat ini, catatan NPF-nya kadung masuk dalam rapor kinerjanya.

Di samping itu ia juga memandang sektor perbankan syariah masih dalam proses belajar. Dalam arti pelaku industrinya masih dalam tahap belajar membuat sistem perbankan yang sesuai dengan good governance serta prinsip kehati-hatian.

Ia sendiri memandang proses tersebut sebagai bagian yang harus dilewati oleh industri demi menghindari kesalahan dalam penerapan prinsip ekonomi syariah yang sesuai.

Saat ditanyakan anggapan bahwa bank syariah lebih kebal saat krisis ketimbang konvensional, Menkeu menyatakan ada perbedaan situasi yang dihadapi dua industri ini saat krisis 2008 lalu. Saat itu yang terimbas krisis adalah bank-bank konvensional yang terjun ke produk-produk derivatif. Sementara itu perbankan syariah telah membatasi diri untuk tidak ‘nyemplung’ ke pasar derivatif, sehingga tak ada imbas yang dirasakan oleh industri syariah.

Sedangkan saat ini, bank konvensional telah meningkatkan manajemen risikonya sehingga tak lagi terjebak pada persoalan yang sama seperti masa krisis lalu. “Bukan berarti bank syariah tidak lebih prudent, tapi karena bank konvensional jauh lebih siap dalam manajemen risikonya,” kata Menkeu.

Di samping itu ia juga memandang di sektor perbankan syariah saat ini masih berada dalam proses belajar. Dalam arti pelaku industri perbankan syariah masih dalam tahap belajar dalam membuat sistem perbankan yang sesuai dengan good governance serta prinsip kehati-hatian.

Ia sendiri memandang proses tersebut sebagai bagian yang harus dilewati oleh industri demi menghindari kesalahan dalam penerapan prinsip ekonomi syariah yang sesuai.

Nah, soal mana yang lebih kompetitif dalam memberikan layanan dan keuntungan pada nasabah, baik konvensional dan bank syariah punya kata kunci yang sama yakni besaran cost of fund. Artinya dibutuhkan cara-cara yang efisien dalam penggalangan dana. Dikatakan Menkeu, semakin mampu membenahi dan menekan satu komponen ini, maka mereka akan jauh lebih kompetitif di mata nasabah. Sementara itu kendati mayoritas penduduk domestik adalah muslim, mereka tetap merupakan masyarakat rasional yang akan memilih mana yang lebih menguntungkan buat mereka.

Ke depan, ada semacam keinginan banyak pihak agar bank syariah nasional bisa bergerak jauh lebih gesit dan bertumbuh lebih cepat. Menkeu menyebut ada beberapa solusi yang bisa dijadikan alternatif untuk menumbuhkan industri perbankan syariah baik secara organik maupun anorganik. Dan jika tak lagi memungkinkan secara organik, maka harus dilakukan secara anorganik.

Yang pertama ia menyebut dibutuhkannya satu bank BUMN syariah yang besar. Langkah konversi bank BUMN konvensional menjadi syariah memang sempat menjadi opsi, namun hal ini belum tentu bisa dilakukan. Berikutnya opsi yang bisa dilakukan adalah dengan menggabungkan anak usaha-anak usaha bank syariah yang sudah ada. Namun langkah merger ini diakuinya juga bukanlah hal yang mudah. “Karena kinerja mereka belum bagus juga. Dan perlu waktu buat induk usaha mereka untuk membenahi anak usahanya,” ujar Menkeu.

Berikutnya yang dinilai sedikit mudah adalah mengundang modal asing yang cukup besar untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Karena kunci dari perbankan adalah permodalan. Jika di domestik belum mamu membangun permodalan yang besar, maka modal asing adalah jawabannya. Namun syaratnya, paradigma berpikir anti modal asing harus dientaskan. “Selain permodalan yang besar, mereka juga memiliki kelebihan dalam manajemen. Inggris juga kuat perbankan syariahnya, namun modal yang digunakan adalah dana-dana asing dari Timur Tengah. Dan kita harus bisa seperti Inggris,” tandasnya.

Dipublikasikan di Majalah Investor edisi 266, Agustus 2015

Leave a comment